Rabu, 08 Juni 2011

Aspek Agama ISLAM ,"sholat khusyu'


Sholat Khusyu’

Shalat khusyu’ itu mudah dan sangat nikmat
Satu prinsip utama dalam kiat buku itu adalah, jangan ‘mencari’ khusyu’, cukup siapkan diri untuk ‘menerima’ khusyu’ itu, karena khusyu’ bukan kita ciptakan tapi ‘diberi langsung’ oleh Allah sebagai hadiah nikmat kita menemuiNya.
Bersikap rileks menyiapkan diri kita untuk siap ‘menerima’ karunia khusyu’, karena khusyu’ itu diberi bukan kita ciptakan.
Kepala hingga pinggang dikendorkan, jatuh laksana kain basah yang dipegang ujungnya dari atas. Berat badan mengumpul di kaki yang kemudian serasa keluar akarnya, mengakar ke bumi. Berdiri santai, senyaman kita berdiri. Abu Sangkan menggambarkan laksana pohon cemara, meluruh atasnya, kokoh akarnya sehingga luwes tertiup angin namun tak roboh.
Lalu mulai bertakbir, Allahu Akbar, dan selanjutnya membaca dengan pelan-pelan, meresapi kesendirian dan berusaha menangkap kehadiran Tuhan yang sesungguhnya amat dekat dengan kita, namun kita tumpul untuk merasakannya. Kita sedang menemuiNya sekarang. Kita, ruh kita tepatnya. Badan fisik ini hanyalah alat yang mengantar ruh ini berjumpa kembali dengan yang dicintainya, ialah Allah yang meniupkan ruh ini dahulu ke dalam badan fisik.
Pernahkah kita sholat di belakang imam yang ‘ngebut’ sholatnya? Jawabannya bisa jadi pernah, dan apa yang kita rasakan? Mungkin saja kita kesal. Baru mau selesai Al Fatihah, eh dia sudah ruku’, mau ruku’ eh dia sudah berdiri I’tidal, dan seterusnya. Kita kesal karena irama kecepatan sholat dengan imam berbeda.
Ternyata demikian halnya dengan sholat kita sendiri. Ketika kita sholat, selain badan fisik kita ini sholat pula ruh kita. Ruh inilah yang benar-benar ingin sholat -kembali menemui Tuhannya- sementara badan fisik ini sarana kita mengantarnya dengan gerakan dan bacaan. Ruh kita ini sesungguhnya ingin sholat dengan tenang, santai, tuma’ninah. Sayangnya badan kita ‘ngebut’, jadilah ruh kita itu jengkel sejengkel-jengkelnya karena selalu ketinggalan gerakan badan. Maka tips sederhana dari buku itu adalah jika ruku’, tunggu, tunggu hingga ruh ikut mantap dalam ruku’ itu. Saat I’tidal, tunggu, tunggu hingga ruh mu ikut mantap I’tidal. Demikian pula saat sujud, duduk antara dua sujud, juga duduk tasyahud. Tunggu, tunggu hingg ruh mu ikut sujud, ikut duduk, ikut tasyahud.
Berikan kesempatan ruh kita -sebut saja “aku” yang sejati- untuk mengambil sikap sholatnya. Dia agak lamban, namun sholat ini utamanya untuk ‘aku” kita itu, bukan untuk badan fisik kita.
Esensi sholat adalah doa, berdialog dengan Allah secara langsung.
Kita sebenarnya diberi kesempatan untuk mengadu. Kita adukan semua persoalan kita kepada Allah. Kita adukan semua kebingungan kita, pekerjaan, rizki, kesehatan, cinta, dan semua apapun. Kita mengadu, dan kita pasrah menunggu dijawab. Dan pasti Allah menjawabnya langsung. Ruh bisa merasakannya, namun kalau dia dipaksa tertinggal-tinggal oleh gerakan badan, maka dia tidak sempat menikmati pertemuan dengan Allah itu.
Shalat, Titik Awal Menuju Kebangkitan
Shalat tak sekadar hubungan pribadi antara manusia dan Allah. Shalat mengandung dimensi yang sangat luas. Shalat yang khusyuk tak hanya mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga dapat menjadi daya dorong untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tertib, saling menolong, senang bekerja keras, dan saling mengingatkan di dalam kebaikan.
Sedikit Pemikiran Tentang Khusyu’
Khusyu’ dalam shalat adalah impian setiap Muslim.  Keadaan semacam ini telah banyak diceritakan dalam kisah-kisah inspiratif dari masa lampau yang mengundang decak kagum.  Sebutlah misalnya tentang seorang sahabat Rasulullah saw. yang tubuhnya tertembus panah, kemudian ia minta agar panah tersebut dicabut ketika ia sedang shalat saja.  Ketika anak panah itu dicabut, ia seolah tidak merasakan sakit sama sekali lantaran khusyu’ dalam shalatnya.
Gerangan kondisi semacam apakah khusyu’ itu sebenarnya?  Apakah khusyu’ itu berarti tidak memikirkan apa pun selain shalat?  Apakah kita seharusnya tidak mempedulikan hal-hal duniawi ketika shalat?
Anggapan bahwa orang yang shalat dengan khusyu’ hanya memfokuskan pikirannya pada satu kegiatan (yaitu shalat) agaknya malah terbantahkan dengan berbagai teladan yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.  Beliau bahkan pernah melakukan shalat sambil mengasuh anaknya.  Ketika berdiri, anak itu digendongnya, dan ketika ruku’ atau sujud, anak itu pun diturunkannya.  Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa beliau telah membagi pikirannya ketika shalat.  Di lain pihak, kita tidak mungkin menuduh Rasulullah saw. telah melaksanakan shalat dengan tidak khusyu’.  Kalau beliau saja tidak khusyu’, lalu siapa yang bisa melakukannya?
Di lain kesempatan, Rasulullah saw. juga pernah mempersingkat shalat berjamaah yang dipimpinnya karena mendengar tangisan seorang anak.  Beliau mempersingkat shalat karena sadar bahwa sang ibu pastilah merasa khawatir karena mendengar tangisan anaknya.  Artinya, beliau sempat berpikir dan membuat keputusan penting ketika sedang melakukan shalat.  Sekali lagi, Rasulullah saw. adalah contoh terbaik dalam hal shalat khusyu’.  Hal ini tidak bisa dibantah oleh siapa pun.
Jadi, bagaimanakah khusyu’ itu sebenarnya?
Memusatkan pikiran kepada satu hal dalam shalat agaknya tidaklah dimungkinkan.  Shalat itu sendiri terdiri dari berbagai gerakan dan bacaan.  Kita harus mengendalikan ucapan kita, membaca doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an menurut aturan tertentu, dan hal itu pasti menuntut pembagian konsentrasi.  Demikian pula pengaturan gerakan pastilah memerlukan kesadaran yang cukup.  Jika kita melepaskan kesadaran dalam segala hal, maka barangkali shalat kita akan tampak seperti tari-tarian orang yang menelan ekstasi atau orang yang sedang kesurupan.  Tapi shalat tidak seperti demikian.  Shalat adalah rangkaian perbuatan yang dilakukan secara teratur dengan penuh kesadaran.
Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat.  Dan sesungguhnya shalat itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.  (Yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menjumpai Rabb mereka dan sesungguhnya mereka akan kembali kepada-Nya.  (Q.S. al-Baqarah [2] : 45 – 46)
Allah SWT sendiri mengatakan bahwa shalat itu berat (yang artinya memang seharusnya kita merasa bahwa shalat itu adalah suatu ibadah yang cukup kompleks).  Pada ayat ke-45 di atas, Allah menegaskan bahwa hanya orang-orang yang khusyu’ sajalah yang bisa mendapatkan manfaat terbesar dalam shalat.  Ayat selanjutnya memberi kita informasi yang kita butuhkan untuk memahami makna khusyu’ yang sebenarnya.
Cukup sederhana, ternyata.  Mereka yang khusyu’ ditandai oleh sebuah sifat : yakin bahwa dirinya akan menjumpai Allah (dalam shalat) dan suatu hari nanti akan kembali kepada-Nya.  Sederhana, tapi bukan perkara yang mudah.
Hal ini kemudian membawa kita pada berbagai konsekuensi.  Barangkali perlu dibuat berjilid-jilid buku untuk menjabarkan keseluruhan konsekuensi dari khusyu’ tersebut.  Yang jelas, mereka yang khusyu’ ditandai oleh sikap khidmatnya yang luar biasa ketika sedang melaksanakan shalat, karena mereka yakin bahwa mereka tengah ‘berjumpa’ dengan Rabb-nya, yaitu Dzat yang memiliki dirinya dan menjadi satu-satunya tempat kembali untuknya kelak.  Tentu saja masih banyak sikap lainnya yang akan muncul di luar shalat sebagai konsekuensi dari keyakinan ini, namun itu masalah lain lagi.
Sekarang kita telah memiliki sedikit gambaran mengenai sikap khusyu’ dalam shalat.  Konkretnya, kita harus meyakini bahwa ketika shalat kita sedang menghadap Allah SWT, bukan yang lain.  Dengan demikian, kita harus mengatur setiap ucapan dan gerakan kita.
Sebagai perbandingan, anggaplah Anda sedang berbincang-bincang dengan seorang ulama yang paling Anda hormati.  Bagaimanakah sikap Anda?  Tentu Anda akan mengatur ucapan Anda, khawatir kalau-kalau Anda akan memberikan kesan buruk di hadapannya.  Setiap kata yang mengalir dari mulut akan dipilih baik-baik dan diusahakan terucap dengan sejelas mungkin.  Tidak terburu-buru, tapi juga tidak terlalu lambat.
Bagaimana dengan bahasa tubuh Anda?  Tentu saja Anda tidak akan bergerak serampangan.  Anda tidak akan mengobrol dengannya sekedar basa-basi.  Anda tentu akan berbincang-bincang dengan sangat serius dan tidak membuat gerakan yang tidak perlu.  Anda tidak akan menggaruk-garuk ketiak di hadapan seseorang yang amat dihormati, bukan?
Sekarang refleksikanlah sikap tersebut dengan shalat Anda!  Tentu saja Allah SWT jauh lebih mulia daripada ulama mana pun, bahkan Dia-lah Yang Maha Mulia, tidak ada bandingannya dengan apa pun.  Jika kita mengatur ucapan dan gerak-gerik kita di hadapan seorang ulama, lebih-lebih lagi di hadapan Allah!
Kita berdiri tegak untuk shalat dengan postur yang sempurna layaknya prajurit yang akan melaksanakan upacara bendera.  Kita bersiap untuk melakukan sesuatu yang amat formal.  Ketika akan bertemu Allah SWT, tentu saja kita dituntut untuk mengatur sikap.  Kita menundukkan wajah kita, menatap ke arah sujud karena rasa takut dan khidmat kepada Allah.  Kehadiran-Nya bisa dirasakan di seluruh ruangan, bahkan seluruh alam berkhidmat kepada-Nya.
Kemudian mulailah kita mengangkat tangan untuk takbiratul ihram.  Tidak perlu terburu-buru, tidak perlu dilambat-lambatkan.  Gunakanlah waktu secukupnya untuk tetap merasakan kehadiran-Nya.  Setelah itu, mulailah membaca surah Al-Fatihah dan seterusnya dengan tertib.  Tidak boleh ada kata yang salah terucap, huruf yang tidak jelas makhraj-nya, kalimat yang tidak jelas maknanya, bacaan yang kita tidak mengerti maksudnya, dan penuturannya pun harus terlantun dengan indah bagaikan lagu.  Kita tengah berhadapan dengan Allah.
Setelah selesai membaca Al-Fatihah dan beberapa ayat tambahan, maka kita mulai melakukan ruku’.  Gerakan ini tidak dimulai jika bacaan kita belum selesai.  Sebaliknya, bacaan ruku’ pun tidak dilakukan sebelum kita benar-benar sampai pada posisi akhir ruku’ tersebut.  Segalanya harus tertib dan formal.  Di hadapan kita ada Allah Yang Maha Melihat.
Selanjutnya, setiap gerakan dan bacaan harus dilakukan dengan tertib, tidak saling mengejar dan memburu.  Selesaikan sebuah gerakan, baru membaca doa.  Selesaikan doa, baru melakukan gerakan berikutnya.  Tidak boleh ada overlap dalam sebuah ibadah formal.  Ini tidak main-main.  Demikian seterusnya hingga akhirnya kita mengucapkan salam sebagai tanda selesainya ibadah shalat.  Setiap rukun shalat harus ditunaikan sebaik mungkin, serapi mungkin, dan tertib.




Mengenai bagaimana cara meraih sholat khusu', imam Ghozali memberikan uraian yang cukup panjang mengenai hal ini. Tetapi jangan berusaha dengan cara yang menggebu-gebu untuk bisa khusyu', karena keinginan khusyu' yang berlebihan itu merupakan hawa nafsu.

Ibnu Athaillah as-Sakandary memberikan solusi "Jika anda ingin khusyu' dalam sholat, kemudian anda khusyu'kan, anda akan kesulitan khusyu'. Keridhoan anda dan kerelaan anda, bahwa saat itu Allah belum mentakdirkan khusyu' malah bisa
membuka pintu kekhusyu'an. Jadi tawakkal dan ridho itu harus menyertai ibadah anda.

Syeikh Abdul Jalil Mustaqim memberikan solusi kekhusyu'an dengan tetap membunyikan Allah.Allah.dalam hati bagi seluruh bacaan dan gerak gerik hati sholat anda hingga salam.

Pertama-tama selain niat yang ikhlas, bahwa sholat itu hanya untuk Allah, bukan selain untuk Allah, harus diteguhkan diawal niat anda. Bukankah anda semua sedang menghadap Allah, layak dan sopankah jika anda menghadap kepada Yang Maha Agung, tanpa sepenuh jiwa, dan hati yang
"berselingkuh"? Padahal ketika hamba Allah mengucap takbir, Allahu Akbar, sejak awal sholat maupun pergantian gerakan sholat, semestinya ia menyadari, betapa seluruh totalitas selain Allah itu ditakbiri, sehingga sang hamba fana' total dalam Baqo'Nya Allah.

Sebenarnya Allah tidak membutuhkan sholat kita, tetapi kitalah yang butuh Allah melalui sholat, karena itu sholat kita harus hanya untuk Allah (Lillahi Ta'ala). Allah tidak butuh disembah, tetapi kita yang bergantung kepadaNya membutuhkanNya secara total.

Sholat itu bukan sebagai kerangka jalan menuju hakikat, tetapi sholat itu adalah perintahNya, bukan utnuk kepentingan Allah tetapi demi kepentingan kita sendiri, karena cinta dan kasih sayang Allah Yang Maha Agung Kepada kita. Jadi salah besar bahkan sesat kalau ada pandangan yang mengatakan, bahwa sholat itu jalan menuju kepada Allah, sehingga kalau sudah bertemu dan menyatu dengan Allah tidak perlu sholat, karena kalau masih sholat berarti kita masih mondar mandir di jalan. Inilah jalan sesat iblis yang membelokkan perintah Allah.

Selanjutnya mari kita renungi wacana sholat Sufistik dari Hujjatul Islam Al-Ghozali di bawah ini.

Mungkin anda akan berpendapat bahwa apa yang saya kemukakan ini akan berbeda dengan kesepakatan para ulama fiqih (fuqaha). Apabila saya menekankan perlunya kesadaran penuh dalam setiap gerakan sholat sebagai syarat sahnya sholat,
sementara mereka (para ulama fiqih) tersebut hanya mensyaratkannya pada saat melakukan takbiratul ihram, "Allahu Akbar".

Perlu anda pahami bahwa para ahli fiqih tersebut tidak mempedulikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan batin atau persoalan akhirat. Perhatian mereka hanyalah tertumpu pada aspek-aspek lahiriah hukum agama, denga merujuk pada
perbuatan fisik anggota badan semata. Mengenai manfaat ukhrawi (bagi kehidupan akhirat kelak) dari perbuatan masing-masing tersebut, jelas diluar jangkauan dan pembahasan ilmu fiqih, sehingga tidak pernah ada konsensus tentang hal tersebut.

Sufyan ats Tsauri, seorang ahli fiqih periode awal Islam, pernah berkata, "Sesungguhnya tidak sah sholat yang tidak dilakukan secara khusyu' dan disertai kesadaran hati". Diriwayatkan bahwa Al Hasan pernah berkata, "Sholat yang
dilaksanakan tanpa disertai kesadaran hati, akan mendekatkan kita pada siksaan". Dikatakan Mu'adz bin Jabal, "Baragsiapa sampai mengenal orang yang disisi kanan dan kirinya, sementara ia tengah sholat, maka tiada nilai sholat baginya".

Rasulullah bersabda "Seseorang yang melaksanakan sholat, tetapi mungkin pahala atau kebaikan yang diperolehnya hanya seperenam atau sepersepuluh sholatnya. Manusia hanya memperroleh kebaikan pada bagian-bagian yang dilakukannya dengan kesadaran hati". Hr. Abu Dawud, an Nasa'i. Apabila hal ini diriwayatkan melalui orang yang lebih sedikit lagi, tentunya sudah menjadi madzhab, kalau demikian mengapa tidak pernah dijadikan pegangan secara serius?

Dikatakan oleh Abdul Wahid bin Zaid, "Para ulama telah sepakat bahwa manusia akan memperoleh kebaikan dari sholatnya hanya dari bagian-bagian yang dilakukannya dengan penuh kesadaran." Dan dalam pendapat Abdul Wahid ini sebenarnya telah terjadi konsensus (ijma') tentang masalah ini. Singkatnya kesadaran hati merupakan inti sholat dan sekaligus penentu nilai sholat itu sendiri. Perhatian dan kesadaran pada takbir pertama, takbiratul ihram, "Allahu Akbar" hanyalah syarat minimum untuk menjaga agar inti tersebut tetap hidup.

Dampak Perubahan Sosial Budaya


Dampak Perubahan Sosial Budaya

Setiap masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan-perubahan. Berdasarkan sifatnya, perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga menuju ke arah kemunduran. Perubahan sosial yang terjadi memang telah ada sejak zaman dahulu. Ada kalanya perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung demikian cepatnya, sehingga membingungkan manusia yang menghadapinya. Berikut ini beberapa ilmuwan yang mengungkapkan tentang batasan-batasan perubahan sosial. Gillin dan Gillin menyatakan bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan komposisi penduduk, ideologi, ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat.
Samuel Koenig menjelaskan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi tersebut terjadi karena sebab-sebab intern atau sebab-sebab ekstern. Selo Soemardjan menjelaskan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi  istem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan unsur-unsur atau struktur sosial dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan yang lain.
A. Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial Budaya dan Penyebabnya
Perubahan sosial budaya dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk berikut ini.
1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan lambat disebut juga evolusi. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Contoh perubahan evolusi adalah perubahan pada struktur masyarakat. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah menjadi kompleks. Perubahan cepat disebut juga dengan revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan tersebut sulit dihindari bahkan semakin berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Terjadinya proses revolusi memerlukan persyaratan tertentu. Berikut ini beberapa persyaratan yang mendukung terciptanya revolusi.


a. Ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan.
b. Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang mampu memimpin masyarakat tersebut.
c. Harus bisa memanfaatkan momentum untuk melaksanakan revolusi.
d. Harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan kepada rakyat.
e. Kemampuan pemimpin dalam menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas masyarakat dan keinginan-keinginan yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan revolusi.
Contoh perubahan secara revolusi adalah gerakan Revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979 yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Syah Mohammad Reza Pahlevi yang otoriter dan mengubah sistem pemerintahan monarki menjadi sistem Republik Islam dengan Ayatullah Khomeini sebagai pemimpinnya.
2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar

Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan kecil adalah perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian. Sebaliknya, perubahan besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar adalah dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.
3. Perubahan yang Dikehendaki atau Direncanakan dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki atau Tidak Direncanakan

Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial. Contoh perubahan yang dikehendaki adalah pelaksanaan pembangunan atau perubahan tatanan pemerintahan, misalnya perubahan tata pemerintahan Orde Baru menjadi tata pemerintahan Orde Reformasi. Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan.
Contoh perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan adalah munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa peralihan tatanan Orde Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke Orde Reformasi.
4. Sebab-Sebab Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial dan kebudayaan di masyarakat dapat terjadi karena adanya sebab-sebab yang berasal dari masyarakat sendiri atau yang berasal dari luar masyarakat.
a . Sebab-Sebab yang Berasal dari Dalam Masyarakat (Sebab Intern)
Berikut ini sebab-sebab perubahan sosial yang bersumber dari dalam masyarakat (sebab intern)
1) Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk.
2) Adanya penemuan-penemuan baru yang berkembang di masyarakat, baik penemuan yang bersifat baru (discovery) ataupun penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk penemuan lama (invention).
3) Munculnya berbagai bentuk pertentangan (conflict) dalam masyarakat.
4) Terjadinya pemberontakan atau revolusi sehingga mampu menyulut terjadinya perubahan-perubahan besar. Misalnya, Revolusi Rusia (Oktober 1917) yang mampu menggulingkan pemerintahan kekaisaran dan mengubahnya menjadi sistem diktator proletariat yang dilandaskan pada doktrin Marxis. Revolusi tersebut menyebabkan perubahan yang mendasar, baik dari tatanan negara hingga tatanan dalam keluarga.
b . Sebab-Sebab yang Berasal dari Luar Masyarakat (Sebab Ekstern)

Perubahan sosial dan kebudayaan juga dapat terjadi karena adanya sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat (sebab ekstern). Berikut ini sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat.
1)      Adanya pengaruh bencana alam. Kondisi ini terkadang memaksa masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah kelahirannya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan lingkungan yang baru tersebut. Hal ini kemungkinan besar juga dapat memengaruhi perubahan pada struktur dan pola kelembagaannya.
2) Adanya peperangan, baik perang saudara maupun perang antarnegara dapat me-nyebabkan perubahan, karena pihak yang menang biasanya akan dapat memaksakan ideologi dan kebudayaannya kepada pihak yang kalah.
3) Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan perubahan. Jika pengaruh suatu kebudayaan dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut demonstration effect. Jika pengaruh suatu kebudayaan saling menolak, maka disebut cultural animosity. Jika suatu kebudayaan mempunyai taraf yang lebih tinggi dari kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh unsur-unsur kebudayaan baru tersebut.


B. Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial Budaya
1. Faktor-Faktor Pendorong Perubahan
a. Adanya Kontak dengan Kebudayaan Lain

Kontak dengan kebudayaan lain dapat menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Penemuan-penemuan baru tersebut dapat berasal dari kebudayaan asing atau merupakan perpaduan antara budaya asing dengan budaya sendiri. Proses tersebut dapat mendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan yang ada.
b . Sistem Pendidikan Formal yang Maju
Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama membuka pikiran dan mem-biasakan berpola pikir ilmiah, rasional, dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya dapat memenuhi perkembangan zaman atau tidak.
c . Sikap Menghargai Hasil Karya Orang Lain
Penghargaan terhadap hasil karya seseorang akan mendorong seseorang untuk berkarya lebih baik lagi, sehingga masyarakat akan semakin terpacu untuk menghasilkan karya-karya lain.
d . Toleransi terhadap Perbuatan yang Menyimpang
Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak pidana, dapat merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya.Untuk itu, toleransi dapat diberikan agarsemakin tercipta hal-hal baru yang kreatif.
e . Sistem Terbuka Masyarakat ( Open Stratification )
Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
f . Heterogenitas Penduduk

Di dalam masyarakat heterogen yang mempunyai latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat dalam upayanya untuk mencapai keselarasan sosial.
g . Orientasi ke Masa Depan
Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
h. Ketidakpuasan Masyarakat terhadap Bidang-Bidang Tertentu
Ketidakpuasan yang berlangsung lama di kehidupan masyarakat dapat menimbulkan reaksi berupa perlawanan, pertentangan, dan gerakan revolusi untuk mengubahnya.
i . Nilai Bahwa Manusia Harus Senantiasa Berikhtiar untuk Memperbaiki Hidupnya
Ikhtiar harus selalu dilakukan manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas.
2. Faktor-Faktor Penghambat Perubahan
a. Kurangnya Hubungan dengan Masyarakat Lain
Kehidupan terasing menyebabkan suatu masyarakat tidak mengetahui perkembangan-perkembangan yang telah terjadi. Hal ini menyebabkan pola-pola pemikiran dan kehidupan masyarakat menjadi statis.
b . Terlambatnya Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Kondisi ini dapat dikarenakan kehidupan masyarakat yang terasing dan tertutup, contohnya masyarakat pedalaman. Tapi mungkin juga karena masyarakat itu lama berada di bawah pengaruh masyarakat lain (terjajah).

c . Sikap Masyarakat yang Masih Sangat Tradisional

Sikap yang mengagung-agungkan tradisi dan masa lampau dapat membuat terlena dan sulit menerima kemajuan dan perubahan zaman. Lebih parah lagi jika masyarakat yang bersangkutan didominasi oleh golongan konservatif (kolot).
d . Rasa Takut Terjadinya Kegoyahan pada Integritas Kebudayaan
Integrasi kebudayaan seringkali berjalan tidak sempurna, kondisi seperti ini dikhawatirkan akan menggoyahkan pola kehidupan atau kebudayaan yang telah ada. Beberapa golongan masyarakat berupaya menghindari risiko ini dan tetap mempertahankan diri pada pola kehidupan atau kebudayaan yang telah ada.
e . Adanya Kepentingan-Kepentingan yang Telah Tertanam dengan Kuat ( Vested Interest Interest)
Organisasi sosial yang mengenal sistem lapisan strata akan menghambat terjadinya perubahan. Golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi tentunya akan mempertahankan statusnya tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan terhambatnya proses perubahan.
f . Adanya Sikap Tertutup dan Prasangka Terhadap Hal Baru (Asing)

Sikap yang demikian banyak dijumpai dalam masyarakat yang pernah dijajah oleh bangsa lain, misalnya oleh bangsa Barat. Mereka mencurigai semua hal yang berasal dari Barat karena belum bisa melupakan pengalaman pahit selama masa penjajahan, sehingga mereka cenderung menutup diri dari pengaruh-pengaruh asing.
g . Hambatan-Hambatan yang Bersifat Ideologis
Setiap usaha perubahan pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah, biasanya diartikan sebagai usaha yang berlawanan dengan ideologi
masyarakat yang sudah menjadi dasar integrasi masyarakat tersebut.

h. Adat atau Kebiasaan yang Telah Mengakar

Adat atau kebiasaan merupakan pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adakalanya adat dan kebiasaan begitu kuatnya sehingga sulit untuk diubah. Hal ini merupakan bentuk halangan terhadap perkembangan dan perubahan kebudayaan. Misalnya, memotong padi dengan mesin dapat mempercepat proses pemanenan, namun karena adat dan kebiasaan masyarakat masih banyak yang menggunakan sabit atau ani-ani, maka mesin pemotong padi tidak akan digunakan.
i . Nilai Bahwa Hidup ini pada Hakikatnya
Buruk dan Tidak Mungkin Diperbaiki Pandangan tersebut adalah pandangan pesimistis. Masyarakat cenderung menerima kehidupan apa adanya dengan dalih suatu kehidupan telah diatur oleh Yang Mahakuasa. Pola pikir semacam ini tentu saja tidak akan memacu pekembangan kehidupan manusia.
C. Perilaku Masyarakat sebagai Akibat Adanya Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat. Telah dijelaskan di depan bahwa perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan) dan hal-hal negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja memengaruhi pola dan perilaku masyarakatnya. Berikut ini hal-hal positif atau bentuk kemajuan akibat adanya perubahan sosial budaya.
1. Memunculkan ide-ide budaya baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.
2. Membentuk pola pikir masyarakat yang lebih ilmiah dan rasional.
3. Terciptanya penemuan-penemuan baru yang dapat membantu aktivitas manusia.
4. Munculnya tatanan kehidupan masyarakat baru yang lebih modern dan ideal.


Berikut ini hal-hal negatif atau bentuk ke-munduran akibat adanya perubahan sosial budaya.
1. Tergesernya bentuk-bentuk budaya nasional oleh budaya asing yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah budaya-budaya nasional.
2. Adanya beberapa kelompok masyarakat yang mengalami ketertinggalan kemajuan budaya dan kemajuan zaman, baik dari sisi pola pikir ataupun dari sisi pola kehidupannya (cultural lag atau kesenjangan budaya).
3. Munculnya bentuk-bentuk penyimpangan sosial baru yang makin kompleks.
4. Lunturnya kaidah-kaidah atau norma budaya lama, misalnya lunturnya kesadaran bergotong-royong di dalam kehidupan masyarakat kota.


Adanya perubahan sosial budaya secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak

 Akibat Positif

Perubahan dapat terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Keadaan masyarakat yang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan disebut adjusment, sedangkan bentuk penyesuaian dengan gerak perubahan disebut integrasi.













Dampak Perubahan Sosial dan Budaya :

Akibat Negatif

Akibat negatif terjadi apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan disebut maladjusment. Maladjusment akan menimbulkan disintegrasi. Penerimaan masyarakat terhadap perubahan sosial budaya dapat dilihat dari perilaku masyarakat yang bersangkutan.

Apabila perubahan sosial budaya tersebut tidak berpengaruh pada keberadaan atau pelaksanaan nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan positif. Namun, jika perubahan sosial budaya tersebut menyimpang atau berpengaruh pada nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan negatif.


Solusi :


            Apapun bentuk perubahan sosial budaya akan menghasilkan suatu bentuk, pola, dan kondisi kehidupan masyarakat yang baru. Kita sebagai pelajar tentu harus bisa menentukan sikap terhadap dampak perubahan sosial budaya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.  Sikap apriori yang berlebihan tentu saja tidak perlu kita kedepankan, mengingat sikap tersebut merupakan salah satu penyebab terhambatnya proses perubahan sosial budaya yang berujung pada terhambatnya proses perkembangan masyarakat dan modernisasi. Demikian juga dengan sikap menerima setiap perubahan tanpa terkecuali. Sikap tersebut cenderung akan membuat kita meniru (imitasi) terhadap setiap perubahan sosial budaya yang terjadi, meskipun perubahan tersebut mengarah pada perubahan yang bersifat negatif. Kita diharapkan mampu memiliki dan mengembangkan sikap kritis terhadap proses perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat. Perubahan sosial budaya yang bersifat positif dapat kita terima untuk memperkaya khazanah kebudayaan bangsa kita, sebaliknya perubahan sosial budaya yang bersifat negatif harus kita saring dan kita cegah perkembangannya dalam kehidupan masyarakat kita. Dalam pelaksanaannya, kita harus mampu mengikuti perkembangan zaman dengan memperluas pengetahuan dan teknologi serta menyaring perubahan tersebut bisa membawa kemajuan atau malah membuat konflik di masyarakat.