Rabu, 08 Juni 2011

Aspek Agama ISLAM ,"sholat khusyu'


Sholat Khusyu’

Shalat khusyu’ itu mudah dan sangat nikmat
Satu prinsip utama dalam kiat buku itu adalah, jangan ‘mencari’ khusyu’, cukup siapkan diri untuk ‘menerima’ khusyu’ itu, karena khusyu’ bukan kita ciptakan tapi ‘diberi langsung’ oleh Allah sebagai hadiah nikmat kita menemuiNya.
Bersikap rileks menyiapkan diri kita untuk siap ‘menerima’ karunia khusyu’, karena khusyu’ itu diberi bukan kita ciptakan.
Kepala hingga pinggang dikendorkan, jatuh laksana kain basah yang dipegang ujungnya dari atas. Berat badan mengumpul di kaki yang kemudian serasa keluar akarnya, mengakar ke bumi. Berdiri santai, senyaman kita berdiri. Abu Sangkan menggambarkan laksana pohon cemara, meluruh atasnya, kokoh akarnya sehingga luwes tertiup angin namun tak roboh.
Lalu mulai bertakbir, Allahu Akbar, dan selanjutnya membaca dengan pelan-pelan, meresapi kesendirian dan berusaha menangkap kehadiran Tuhan yang sesungguhnya amat dekat dengan kita, namun kita tumpul untuk merasakannya. Kita sedang menemuiNya sekarang. Kita, ruh kita tepatnya. Badan fisik ini hanyalah alat yang mengantar ruh ini berjumpa kembali dengan yang dicintainya, ialah Allah yang meniupkan ruh ini dahulu ke dalam badan fisik.
Pernahkah kita sholat di belakang imam yang ‘ngebut’ sholatnya? Jawabannya bisa jadi pernah, dan apa yang kita rasakan? Mungkin saja kita kesal. Baru mau selesai Al Fatihah, eh dia sudah ruku’, mau ruku’ eh dia sudah berdiri I’tidal, dan seterusnya. Kita kesal karena irama kecepatan sholat dengan imam berbeda.
Ternyata demikian halnya dengan sholat kita sendiri. Ketika kita sholat, selain badan fisik kita ini sholat pula ruh kita. Ruh inilah yang benar-benar ingin sholat -kembali menemui Tuhannya- sementara badan fisik ini sarana kita mengantarnya dengan gerakan dan bacaan. Ruh kita ini sesungguhnya ingin sholat dengan tenang, santai, tuma’ninah. Sayangnya badan kita ‘ngebut’, jadilah ruh kita itu jengkel sejengkel-jengkelnya karena selalu ketinggalan gerakan badan. Maka tips sederhana dari buku itu adalah jika ruku’, tunggu, tunggu hingga ruh ikut mantap dalam ruku’ itu. Saat I’tidal, tunggu, tunggu hingga ruh mu ikut mantap I’tidal. Demikian pula saat sujud, duduk antara dua sujud, juga duduk tasyahud. Tunggu, tunggu hingg ruh mu ikut sujud, ikut duduk, ikut tasyahud.
Berikan kesempatan ruh kita -sebut saja “aku” yang sejati- untuk mengambil sikap sholatnya. Dia agak lamban, namun sholat ini utamanya untuk ‘aku” kita itu, bukan untuk badan fisik kita.
Esensi sholat adalah doa, berdialog dengan Allah secara langsung.
Kita sebenarnya diberi kesempatan untuk mengadu. Kita adukan semua persoalan kita kepada Allah. Kita adukan semua kebingungan kita, pekerjaan, rizki, kesehatan, cinta, dan semua apapun. Kita mengadu, dan kita pasrah menunggu dijawab. Dan pasti Allah menjawabnya langsung. Ruh bisa merasakannya, namun kalau dia dipaksa tertinggal-tinggal oleh gerakan badan, maka dia tidak sempat menikmati pertemuan dengan Allah itu.
Shalat, Titik Awal Menuju Kebangkitan
Shalat tak sekadar hubungan pribadi antara manusia dan Allah. Shalat mengandung dimensi yang sangat luas. Shalat yang khusyuk tak hanya mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga dapat menjadi daya dorong untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tertib, saling menolong, senang bekerja keras, dan saling mengingatkan di dalam kebaikan.
Sedikit Pemikiran Tentang Khusyu’
Khusyu’ dalam shalat adalah impian setiap Muslim.  Keadaan semacam ini telah banyak diceritakan dalam kisah-kisah inspiratif dari masa lampau yang mengundang decak kagum.  Sebutlah misalnya tentang seorang sahabat Rasulullah saw. yang tubuhnya tertembus panah, kemudian ia minta agar panah tersebut dicabut ketika ia sedang shalat saja.  Ketika anak panah itu dicabut, ia seolah tidak merasakan sakit sama sekali lantaran khusyu’ dalam shalatnya.
Gerangan kondisi semacam apakah khusyu’ itu sebenarnya?  Apakah khusyu’ itu berarti tidak memikirkan apa pun selain shalat?  Apakah kita seharusnya tidak mempedulikan hal-hal duniawi ketika shalat?
Anggapan bahwa orang yang shalat dengan khusyu’ hanya memfokuskan pikirannya pada satu kegiatan (yaitu shalat) agaknya malah terbantahkan dengan berbagai teladan yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.  Beliau bahkan pernah melakukan shalat sambil mengasuh anaknya.  Ketika berdiri, anak itu digendongnya, dan ketika ruku’ atau sujud, anak itu pun diturunkannya.  Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa beliau telah membagi pikirannya ketika shalat.  Di lain pihak, kita tidak mungkin menuduh Rasulullah saw. telah melaksanakan shalat dengan tidak khusyu’.  Kalau beliau saja tidak khusyu’, lalu siapa yang bisa melakukannya?
Di lain kesempatan, Rasulullah saw. juga pernah mempersingkat shalat berjamaah yang dipimpinnya karena mendengar tangisan seorang anak.  Beliau mempersingkat shalat karena sadar bahwa sang ibu pastilah merasa khawatir karena mendengar tangisan anaknya.  Artinya, beliau sempat berpikir dan membuat keputusan penting ketika sedang melakukan shalat.  Sekali lagi, Rasulullah saw. adalah contoh terbaik dalam hal shalat khusyu’.  Hal ini tidak bisa dibantah oleh siapa pun.
Jadi, bagaimanakah khusyu’ itu sebenarnya?
Memusatkan pikiran kepada satu hal dalam shalat agaknya tidaklah dimungkinkan.  Shalat itu sendiri terdiri dari berbagai gerakan dan bacaan.  Kita harus mengendalikan ucapan kita, membaca doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an menurut aturan tertentu, dan hal itu pasti menuntut pembagian konsentrasi.  Demikian pula pengaturan gerakan pastilah memerlukan kesadaran yang cukup.  Jika kita melepaskan kesadaran dalam segala hal, maka barangkali shalat kita akan tampak seperti tari-tarian orang yang menelan ekstasi atau orang yang sedang kesurupan.  Tapi shalat tidak seperti demikian.  Shalat adalah rangkaian perbuatan yang dilakukan secara teratur dengan penuh kesadaran.
Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat.  Dan sesungguhnya shalat itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.  (Yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menjumpai Rabb mereka dan sesungguhnya mereka akan kembali kepada-Nya.  (Q.S. al-Baqarah [2] : 45 – 46)
Allah SWT sendiri mengatakan bahwa shalat itu berat (yang artinya memang seharusnya kita merasa bahwa shalat itu adalah suatu ibadah yang cukup kompleks).  Pada ayat ke-45 di atas, Allah menegaskan bahwa hanya orang-orang yang khusyu’ sajalah yang bisa mendapatkan manfaat terbesar dalam shalat.  Ayat selanjutnya memberi kita informasi yang kita butuhkan untuk memahami makna khusyu’ yang sebenarnya.
Cukup sederhana, ternyata.  Mereka yang khusyu’ ditandai oleh sebuah sifat : yakin bahwa dirinya akan menjumpai Allah (dalam shalat) dan suatu hari nanti akan kembali kepada-Nya.  Sederhana, tapi bukan perkara yang mudah.
Hal ini kemudian membawa kita pada berbagai konsekuensi.  Barangkali perlu dibuat berjilid-jilid buku untuk menjabarkan keseluruhan konsekuensi dari khusyu’ tersebut.  Yang jelas, mereka yang khusyu’ ditandai oleh sikap khidmatnya yang luar biasa ketika sedang melaksanakan shalat, karena mereka yakin bahwa mereka tengah ‘berjumpa’ dengan Rabb-nya, yaitu Dzat yang memiliki dirinya dan menjadi satu-satunya tempat kembali untuknya kelak.  Tentu saja masih banyak sikap lainnya yang akan muncul di luar shalat sebagai konsekuensi dari keyakinan ini, namun itu masalah lain lagi.
Sekarang kita telah memiliki sedikit gambaran mengenai sikap khusyu’ dalam shalat.  Konkretnya, kita harus meyakini bahwa ketika shalat kita sedang menghadap Allah SWT, bukan yang lain.  Dengan demikian, kita harus mengatur setiap ucapan dan gerakan kita.
Sebagai perbandingan, anggaplah Anda sedang berbincang-bincang dengan seorang ulama yang paling Anda hormati.  Bagaimanakah sikap Anda?  Tentu Anda akan mengatur ucapan Anda, khawatir kalau-kalau Anda akan memberikan kesan buruk di hadapannya.  Setiap kata yang mengalir dari mulut akan dipilih baik-baik dan diusahakan terucap dengan sejelas mungkin.  Tidak terburu-buru, tapi juga tidak terlalu lambat.
Bagaimana dengan bahasa tubuh Anda?  Tentu saja Anda tidak akan bergerak serampangan.  Anda tidak akan mengobrol dengannya sekedar basa-basi.  Anda tentu akan berbincang-bincang dengan sangat serius dan tidak membuat gerakan yang tidak perlu.  Anda tidak akan menggaruk-garuk ketiak di hadapan seseorang yang amat dihormati, bukan?
Sekarang refleksikanlah sikap tersebut dengan shalat Anda!  Tentu saja Allah SWT jauh lebih mulia daripada ulama mana pun, bahkan Dia-lah Yang Maha Mulia, tidak ada bandingannya dengan apa pun.  Jika kita mengatur ucapan dan gerak-gerik kita di hadapan seorang ulama, lebih-lebih lagi di hadapan Allah!
Kita berdiri tegak untuk shalat dengan postur yang sempurna layaknya prajurit yang akan melaksanakan upacara bendera.  Kita bersiap untuk melakukan sesuatu yang amat formal.  Ketika akan bertemu Allah SWT, tentu saja kita dituntut untuk mengatur sikap.  Kita menundukkan wajah kita, menatap ke arah sujud karena rasa takut dan khidmat kepada Allah.  Kehadiran-Nya bisa dirasakan di seluruh ruangan, bahkan seluruh alam berkhidmat kepada-Nya.
Kemudian mulailah kita mengangkat tangan untuk takbiratul ihram.  Tidak perlu terburu-buru, tidak perlu dilambat-lambatkan.  Gunakanlah waktu secukupnya untuk tetap merasakan kehadiran-Nya.  Setelah itu, mulailah membaca surah Al-Fatihah dan seterusnya dengan tertib.  Tidak boleh ada kata yang salah terucap, huruf yang tidak jelas makhraj-nya, kalimat yang tidak jelas maknanya, bacaan yang kita tidak mengerti maksudnya, dan penuturannya pun harus terlantun dengan indah bagaikan lagu.  Kita tengah berhadapan dengan Allah.
Setelah selesai membaca Al-Fatihah dan beberapa ayat tambahan, maka kita mulai melakukan ruku’.  Gerakan ini tidak dimulai jika bacaan kita belum selesai.  Sebaliknya, bacaan ruku’ pun tidak dilakukan sebelum kita benar-benar sampai pada posisi akhir ruku’ tersebut.  Segalanya harus tertib dan formal.  Di hadapan kita ada Allah Yang Maha Melihat.
Selanjutnya, setiap gerakan dan bacaan harus dilakukan dengan tertib, tidak saling mengejar dan memburu.  Selesaikan sebuah gerakan, baru membaca doa.  Selesaikan doa, baru melakukan gerakan berikutnya.  Tidak boleh ada overlap dalam sebuah ibadah formal.  Ini tidak main-main.  Demikian seterusnya hingga akhirnya kita mengucapkan salam sebagai tanda selesainya ibadah shalat.  Setiap rukun shalat harus ditunaikan sebaik mungkin, serapi mungkin, dan tertib.




Mengenai bagaimana cara meraih sholat khusu', imam Ghozali memberikan uraian yang cukup panjang mengenai hal ini. Tetapi jangan berusaha dengan cara yang menggebu-gebu untuk bisa khusyu', karena keinginan khusyu' yang berlebihan itu merupakan hawa nafsu.

Ibnu Athaillah as-Sakandary memberikan solusi "Jika anda ingin khusyu' dalam sholat, kemudian anda khusyu'kan, anda akan kesulitan khusyu'. Keridhoan anda dan kerelaan anda, bahwa saat itu Allah belum mentakdirkan khusyu' malah bisa
membuka pintu kekhusyu'an. Jadi tawakkal dan ridho itu harus menyertai ibadah anda.

Syeikh Abdul Jalil Mustaqim memberikan solusi kekhusyu'an dengan tetap membunyikan Allah.Allah.dalam hati bagi seluruh bacaan dan gerak gerik hati sholat anda hingga salam.

Pertama-tama selain niat yang ikhlas, bahwa sholat itu hanya untuk Allah, bukan selain untuk Allah, harus diteguhkan diawal niat anda. Bukankah anda semua sedang menghadap Allah, layak dan sopankah jika anda menghadap kepada Yang Maha Agung, tanpa sepenuh jiwa, dan hati yang
"berselingkuh"? Padahal ketika hamba Allah mengucap takbir, Allahu Akbar, sejak awal sholat maupun pergantian gerakan sholat, semestinya ia menyadari, betapa seluruh totalitas selain Allah itu ditakbiri, sehingga sang hamba fana' total dalam Baqo'Nya Allah.

Sebenarnya Allah tidak membutuhkan sholat kita, tetapi kitalah yang butuh Allah melalui sholat, karena itu sholat kita harus hanya untuk Allah (Lillahi Ta'ala). Allah tidak butuh disembah, tetapi kita yang bergantung kepadaNya membutuhkanNya secara total.

Sholat itu bukan sebagai kerangka jalan menuju hakikat, tetapi sholat itu adalah perintahNya, bukan utnuk kepentingan Allah tetapi demi kepentingan kita sendiri, karena cinta dan kasih sayang Allah Yang Maha Agung Kepada kita. Jadi salah besar bahkan sesat kalau ada pandangan yang mengatakan, bahwa sholat itu jalan menuju kepada Allah, sehingga kalau sudah bertemu dan menyatu dengan Allah tidak perlu sholat, karena kalau masih sholat berarti kita masih mondar mandir di jalan. Inilah jalan sesat iblis yang membelokkan perintah Allah.

Selanjutnya mari kita renungi wacana sholat Sufistik dari Hujjatul Islam Al-Ghozali di bawah ini.

Mungkin anda akan berpendapat bahwa apa yang saya kemukakan ini akan berbeda dengan kesepakatan para ulama fiqih (fuqaha). Apabila saya menekankan perlunya kesadaran penuh dalam setiap gerakan sholat sebagai syarat sahnya sholat,
sementara mereka (para ulama fiqih) tersebut hanya mensyaratkannya pada saat melakukan takbiratul ihram, "Allahu Akbar".

Perlu anda pahami bahwa para ahli fiqih tersebut tidak mempedulikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan batin atau persoalan akhirat. Perhatian mereka hanyalah tertumpu pada aspek-aspek lahiriah hukum agama, denga merujuk pada
perbuatan fisik anggota badan semata. Mengenai manfaat ukhrawi (bagi kehidupan akhirat kelak) dari perbuatan masing-masing tersebut, jelas diluar jangkauan dan pembahasan ilmu fiqih, sehingga tidak pernah ada konsensus tentang hal tersebut.

Sufyan ats Tsauri, seorang ahli fiqih periode awal Islam, pernah berkata, "Sesungguhnya tidak sah sholat yang tidak dilakukan secara khusyu' dan disertai kesadaran hati". Diriwayatkan bahwa Al Hasan pernah berkata, "Sholat yang
dilaksanakan tanpa disertai kesadaran hati, akan mendekatkan kita pada siksaan". Dikatakan Mu'adz bin Jabal, "Baragsiapa sampai mengenal orang yang disisi kanan dan kirinya, sementara ia tengah sholat, maka tiada nilai sholat baginya".

Rasulullah bersabda "Seseorang yang melaksanakan sholat, tetapi mungkin pahala atau kebaikan yang diperolehnya hanya seperenam atau sepersepuluh sholatnya. Manusia hanya memperroleh kebaikan pada bagian-bagian yang dilakukannya dengan kesadaran hati". Hr. Abu Dawud, an Nasa'i. Apabila hal ini diriwayatkan melalui orang yang lebih sedikit lagi, tentunya sudah menjadi madzhab, kalau demikian mengapa tidak pernah dijadikan pegangan secara serius?

Dikatakan oleh Abdul Wahid bin Zaid, "Para ulama telah sepakat bahwa manusia akan memperoleh kebaikan dari sholatnya hanya dari bagian-bagian yang dilakukannya dengan penuh kesadaran." Dan dalam pendapat Abdul Wahid ini sebenarnya telah terjadi konsensus (ijma') tentang masalah ini. Singkatnya kesadaran hati merupakan inti sholat dan sekaligus penentu nilai sholat itu sendiri. Perhatian dan kesadaran pada takbir pertama, takbiratul ihram, "Allahu Akbar" hanyalah syarat minimum untuk menjaga agar inti tersebut tetap hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar